Minggu, 12 Agustus 2012

Kapitalisasi Pendidikan Indonesia

Liberalisasi ekonomi mulai merambah dunia pendidikan. Saat ini banyak  pengusaha berinvestasi di dunia pendidikan. Pendidikan dini sampai pendidikan tinggi menjadi lahan bisnis yang menggiurkan. Maraknya bisnis bimbingan belajar merupakan bukti semakin prospektif bisnis pendidikan dan menjadi tamparan pendidikan formal, karena belum mampu memenuhi kebutuhan peserta didik.

Meski 20% APBN dialokasikan untuk pendidikan namun hasilnya belum terasa maksimal. Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) masih memungut berbagai pungutan dengan berbagai alasan sehingga oknum orang tua siswa menganggap RSBI sebagai Rintisan Sekolah Bertarif Internasional. Begitupun dengan Perguruan Tinggi Negeri (PTN), dahulu orang beranggapan kuliah di PTN lebih murah dari Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Namun sungguh ironis hampir semua biaya operasional PTS dari mahasiswa sedangkan PTN mendapat banyak bantuan pemerintah namun biaya PTN mendekati biaya PTS bahkan ada sebagian PTN lebih mahal dari PTS. Meski ada beasiswa Bidik Misi namun kurang efektif karena rakyat miskin tidak selalu berotak brilian.Fenomena ini menjadi indikasi pengelola pendidikan mengalami krisis panggilan jiwa.
Ironi Pendidikan Indonesia 

Ditengah kritikan tajam tingginya biaya PTN dan RSBI, Pemerintah Yudhoyono memberikan apresiasi terhadap tenaga pengajar. Tenaga pengajar yang lulus uji sertifikasi mendapat tunjangan sertifikasi sebesar gaji pokok dan diberikan secara berkala. Suatu kabar gembira bagi guru dan dosen. Dengan tunjangan sertifikasi, penghasilan guru bisa lebih tinggi dari gaji pokok dokter negeri. Hal ini menyebabkan semakin banyak orang memilih profesi guru. 
Berbeda dengan guru sertifikasi, guru honorer masih jauh dari sejahtera. Dengan penghasilan hanya Rp 300 000,00/bulan mereka harus hidup dalam keprihatinan. Namun masih banyak guru honorer yang ikhlas dalam mengajar dan menganggap mengajar merupakan suatu panggilan jiwa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar