Lengsernya Presiden
Soeharto lima belas tahun yang lalu mengingatkan kita pada aksi demo ribuan
mahasiswa. Saat itu mereka menuntut turunnya Presiden Soeharto dengan cara
melakukan aksi diberbagai kota di Indonesia. Mereka sangat kritis menyikapi
segala kebijakan orde baru yang menurut mereka sudah keterlaluan. Aksi
merekapun dibalas sikap represifitas aparat, beberapa Mahasiswa akhirnya tewas
dalam kericuhan Mei 1998 tersebut.
Aktivis mahasiswa saat itu sangat muak dengan Soeharto
dan kroni-kroninya yang mereka anggap sarang KKN (Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme). Mereka menilai selama tiga puluh dua tahun, Soeharto memerintah dengan
tangan besi. Merekapun lebih memilih terjun ke jalan melakukan aksi daripada
konsen di bangku kuliah. Tak heran Mahasiswa era ’98 banyak menjadi “mahasiswa
abadi” yang tak kunjung lulus meski telah bertahun-tahun kuliah.
Lawan
politik Soehartopun tak kuat melawan tindakan rezim Soeharto yang mereka anggap
suatu kediktatoran . Hingga banyak diantara mereka yang memilih hidup di
luarnegeri dari pada terkekang di Ibu pertiwi. Merekapun bersyukur dengan
adanya gerakan para aktivis ’98 yang menuntut pembebasan Tahanan Politik
(Tapol) dan Narapidana Politik (Napol).
Tahun
berganti tahun, zamanpun berganti. Dahulu mereka masih duduk di bangku kuliah
di usia 20-an, sekarang banyak dari mereka yang menduduki jabatan strategis
dengan segala macam fasilitasnya. Dahulu mereka sangat aktif orasi di jalan
raya mengkritisi kebijakan pemerintah, sekarang sebagian dari mereka banyak
yang aktif didemo juniornya (aktivis
mahasiswa sekarang). Dahulu mereka kemana-mana menggunakan bus kota yang sumpek
dan pengap sekarang sebagian dari mereka telah nyawan di dalam mobil mewah
fasilitas Negara.
Saya
sebagai mahasiswa era sekarang berharap tidak semua aktivis ’98 seperti itu,
dan saya yakin masih banyak aktivis ’98 yang seidealis dulu. Aku bangga dengan
Ibu pertiwi tapi muak dengan oknum-oknum
penghianat kepercayaan rakyat. Maju terus negeriku!